Pasar yang terbakar dan filosofi sayur
Sekitar pukul 21.00 malam, ketika ibadah tarawih hari pertama selesai ditunaikan, tak ada yang mengetahui, tak ada yang menyadari, api sudah memercik di lantai dua pasar Projosari Ambarawa. Pasar yang terkenal selalu membikin kemacetan di hari raya, bahkan di hari-hari biasa. Saat itu hampir semua penduduk bersiap diri untuk bangun sahur pada diniharinya. Atau sebagian yang lain masih tinggal di tempat-tempat ibadah untuk ibadah tadarus Al-Quran. Dimana-mana berkumandang suara orang mengaji.
Lalu, sekitar pukul 22.30 wib keadaan berubah menjadi keterkejutan luar biasa. "Pasar Projo terbakar! Pasar terbakar!". Kabar yang demikian cepat menghubungkan satu orang dengan yang lainnya. Berbondong-bondonglah semua orang menuju lokasi pasar yang terbakar, tak terkecuali para pedagang tentunya sang empunya kios. Api sudah demikian membesar di lantai dua, mobil pemadam kebakaran tidak dapat maksimal melakukan tugasnya karena lokasi yang persis di depan jalan nasional dan jalan masuk mobil ke pasar hanya satu saja. Belakang pasar adalah lahan dengan turunan tajam yang tak memngkinkan mobil untuk parkir dengan benar. Belum lagi keriuhan dan kegemparan pedagang yang berusaha menyelamatkan sisa-sisa barang dagangannya ditambah sesaknya penonton. Tragis, ada pedagang yang menyelamatkan sebagian barangnya dengan karung ke jalan, dan orang yang tidak bertanggung jawab mengangkat barangnya. Duh, mereka bener- bener lebih dari sekedar penjarah, bahkan n itu sama dengan merampok hati nurani mereka sendiri.
Bisa dibayangkan, lantai satu adalah los sembako kering dan lantai dua pasar projo sebagian besar adalah los berjualan pakaian. Kondisi dua bulan musim kemarau, angin yang bertiup kencang, los pasar yang hanya terbuat dari papan dan persedian stok menjelang lebaran malah membuat api demikian cepat membesar dan menghabiskan segalanya. Habislah semuanya malam itu, tinggal menjadi arang, dan sisa api yang terus berkorbar. Rasa syok, sedih dan tidak percaya melingkupi semua orang. Tak sedikit sebagian pedagang yang merasa ini adalah kiamat kecil. Mereka semua memiliki stok barang puncak sebab ini berkaitan dengan kebutuhan lebaran tahun ini.
Sungguh, demikianlah keadaan sebagian pasar di negeri ini. Dibakar untuk dapat mendirikan bangunan baru, proyek baru, dan para pedagang pribumi yang hampir selalu tidak punya asuransi untuk bencana ini. Kenapa dibakar? Sebab hampir satu pekan berlalu tidak ada penjelasan resmi kenapa terbakar. Apakah karena dibakar, atau tabung gas yang meledak, atau hubungan arus pendek. Padahal kepolisian negeri ini demikian canggih. Mayat berceceran para korban bom teroris atau korban jatuhnya pesawat yang demikian sulit dan muskil saja terdeteksi. Nah, ini hanya kebakaran pasar.
Bahkan sehari setelah pasar terbakar, puluhan pemulung menyerbu lokasi untuk mengais barang-barang sisa, artinya para pemulung ini juga bisa merusak tempat kejadian perkara yang berkepentingan dengan penyelidikan sebab pasar terbakar. Sungguh tak ada kelanjutan sama sekali, semua sudah dianggap selesai menjadi abu.
Apakah para pedagang, menganggap ini juga selesai menjadi abu?? Ternyata tidak. Yang mereka miliki adalah ketabahan dan ketawakkalan yang sesungguhnya. Pasar darurat segera didirikan. Kegiatan ekonomi bergerak perlahan menuju kenormalan, meskipun suasananya serba minim fasilitas. Mereka menyadari komoditas utama dagangan pasar ini adalah sayur-mayur. Sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan terlalu lama, sebab sayur segera membusuk. Sayur yang telah panen dan siap didistrubiskan ke berbagai daerah sudah menunggu mereka. Cukup sudah tangis dan kesedihan mereka atas bencana ini di hari kemarin. Sayur-mayur inilah kekuatan pedagang pribumi pasar Projo Ambarawa. Mungkin tidak sehebat polis asuransi yang bisa cair dan menggantikan modal mereka. Tapi keberadaan sayur ini bukti betapa tannguh dan uletnya mereka sebagai pedagang kecil. meski negara dan aparat pemerintah tidak memihak kepentingan rakyatnya
Komentar
Posting Komentar